Kamis, 15 Juni 2017

Awal Diagnosis dan Munculnya Gejala Autoimun Hashimoto

Awal diagnosis


Hallo. Saya Annisa, mahasiswa 21 tahun. Dengan Autoimun Hashimoto Disease. Dulu, saya senang sekali menulis. Entah apa alasanya saya berhenti 7 tahun lalu. Kali ini saya akan mencoba menulis kembali. Mungkin tulisan ini lebih banyak diselingi dengan curhatan pribadi saya. Kalau ada yang merasakan hal yang sama, saya sangat terbuka untuk berbagi. Semoga ini bisa menjadi bagian dari terapi ya. Saya harus remisi!

Agustus 2014

Sebagai mahasiswa tingkat 2 sudah pasti akan dipadati dengan berbagai kesibukan perkuliahan. Saya mulai merasakan lelah sekali setiap hari. Ya, saya pikir itu semua karena padatnya aktifitas saya. Pagi kuliah, siang rapat atau kegiatan himpunan, sore sampai malam kerja part-time. Ga part time juga sih karena kerjanya bisa full 8 jam atau malah lebih kaya karyawan resmi lainnya.
Entah mungkin karena kelelahan, ditambah setiap hari pulang pergi dengan jarak yang cukup jauh. Kopo-Setiabudi-Gatot Subroto. Masing-masing memerlukan waktu sekitar 1 jam untuk ditempuh. Tamu bulanan mulai datang terlambat. Akhirnya saya pikir mungkin karena kecapekan kali ya. Karena biasanya lancar terus sejak pertama kali saya dapat menstruasi. Setidaknya kalau terlambat hanya satu atau dua hari tapi kali ini saya terlambat bisa selama dua minggu atau bahkan sebulan. Dan hal ini berlangsung sampai saat ini.
Sebagai remaja akhir usia 19 tahun agak heran dong ya karena siklus menstruasi menjadi acak acakan. Tapi karena saya memang cuek sih jadi saya pikir ‘oh mungkin ini karena kecapekan’
Apalagi karena pekerjaan saya juga cukup menguras tenaga sih. Menjadi asisten koki (cook helper) di dapur profesional di salah satu hotel bintang 6 ternama di Bandung. Saya harus berdiri terus selama bekerja, menyiapkan ratusan bahkan ribuan porsi makanan, memotong-motong puluhan kilogram bahan makanan, angkat angkat panci berat, dorong hot box dari dapur sampai tempat makanan disajikan di ballroom. Begitulah.

April 2015

Kesibukan saya di kampus menjadi lebih ganas lagi. Tahun ini saya diamatkan untuk menjadi Ketua Pelaksana kegiatan kaderisasi untuk adik-adik mahasiswa baru. Belum pernah saya menjabat dalam posisi sebagai ketua dimanapun. Hal ini menjadikan saya harus extra teliti, extra sigap, dapat mengambil keputusan dan tegas. Saya pun menjadi lebih sering berbicara di depan umum. Sedari kecil saya memang memiliki kesulitan dalam public speaking, namun saat sma akhirnya saya dapat menangani hal tersebut dengan baik. Tapi kali ini tidak. Saya menjadi mudah sekali panik, indecisive, bahkan saya mulai mejauh dari teman teman dekat saya tanpa alasan yang jelas. Saya senang sekali bersosialisasi pada masa awal kuliah, namun kali ini hal tersebut berubah yang saya sendiri tidak tahu alasanya apa. Berbicara mengenai public speaking, mendapat posisi menjadi ketua membuat saya menjadi lebih sering berbicara di depan umum. Hey, simple sekali memang. Orang-orang yang saya hadapi hanya teman-teman di himpunan dan adik-adik tingkat loh, kebanyakan juga akhirnya saya hanya bicara di depan kelas saat kegiatan kaderisasi.
Namun rasanya seperti dikejar singa. Saya mudah sekali gugup, panik, gemetaran saat akan berbicara di depan orang. Sebagai ketua yang harusnya tegas pun, saya lebih sering mendiskusikan keputusan yang akan saya ambil dengan teman saya yang lain di himpunan.

Oktober 2015

Tugas di kampus lagi padat-padatnya. Antara harus menyelesaikan berbagai tugas semester 5, menyiapkan laporan pertanggung jawaban himpunan, menyiapkan diri untuk praktik kerja lapangan semester depan. Bahkan saja jadi jarang ambil job kerja di hotel lagi. Ditengah kesibukan seperti itu, bukannya saya menjadi lebih cekatan tapi saya malah mudah sekali ketiduran. Beberapa kali kepergok dosen ketiduran di kelas, beberapa kali nabrak kendaraan lain waktu perjalanan pulang ke rumah karena ngantuk saat mengendarai motor, dan saya mudah sekali ketiduran dimanapun. Akhirnya beberapa tugas saya kumpulkan mepet bahkan terlambat pada deadline yang ditentukan. Syukurlah IP semester ini masih dapat dibanggakan.

Februari 2016

Saya sedang praktik kerja lapangan di dapur profesional pada sebuah resort bintang 5 di daerah Nongsa Pulau Batam Kepulauan Riau. Lebih makan hati sih disini, tapi tak apa. Kata orang merantau itu perlu untuk membentuk kemandirian. Ya, saya memang sendirian disini. Tidak ada keluarga, tidak ada teman. Akhirnya saya membentuk pertemanan baru. Ya sangat menyenangkan terasa bebas dari rutinitas yang biasanya saya jalani di Bandung, dan memulai rutinitas baru yang berbeda sekali dibandingkan saat di Bandung.
Dulu, saya selalu menjadi kebanggaan senior di tempat kerja. Ya, saya sudah memulai bekerja di dapur profesional sejak tahun 2011. Sejak saya masih di bangku kelas 2 SMA. Saya bisa cepat, sigap  dan cekatan dalam bekerja. Walau melelahkan sekali tapi saya menyukai pekerjaan ini. Bertemu banyak orang, mencicipi rasa makanan-makanan enak dan mahal yang tidak akan mampu saya beli sendiri, mengetahui bagaimana rasanya makanan terkenal dari berbagai negara tanpa harus membayar. Tapi kali ini, saya menjadi lebih sering dimarahi oleh senior karena saya sering lupa, lambat dan tidak fokus saat bekerja.
Lupa pekerjaan yang harusnya saya kerjakan selanjutnya, lupa saya simpan benda itu dimana, lupa nama alat yang biasa saya gunakan, beberapa kali kue-kue itu gosong karena tidak fokus dan meninggalkannya untuk menyelesaikan pekerjaan lain, salah masukin bahan-bahan, tidak fokus jadi saya tidak mendengar pesanan yang diminta waiter untuk segera disajikan, lambat sekali menyiapkan berbagai makanan yang setiap hari dikerjakan dan akhirnya saya jadi selalu pulang larut.
Karena sering dimarahi ini, saya juga jadi lebih sensitif sih. Apalagi logat dan cara bicara mereka berbeda dengan di Bandung tempat biasa saya kerja. Cara bicara mereka lebih keras, dan kadang kata-kata yang terucap agak menyakitkan. Beberapa kali saya akhirnya menangis di chiller (ruangan pendingin berukuran besar),  supaya orang lain tidak tahu bahwa saya sedang menangis.

Oktober 2016

Tingkat frekuensi ketiduran dimanapun menjadi lebih sering, bahkan nilai semester ini agak anjlok karena saya sulit sekali fokus saat perkuliahan dan mudah lupa. Tertolong lah sedikit dari teman teman yang memberi contekan, terima kasih ya (maaf, jangan ditiru).
Waktu itu saya lagi main ke rumah tante, adiknya mama. Saya seringkali curhat dengan beliau daripada dengan mama. Mungkin karena beliau juga sama sama anak bungsu di keluarga kali ya, beliau dapat mengerti cerita saya. Cerita bahwa akhirnya saya sedih karena satu persatu kakak kakak saya pergi untuk membangun rumah tangganya sendiri. Hehe. Biasanya kemana-mana selalu diajak, berantem, bercanda setiap hari dari hal-hal kecil. Singkat cerita, si tante menyadari bahwa ada sesuatu yang aneh dengan leher saya. Terlihat seperti bengkak.
“Ti, leher kamu kenapa? Kok bengkak?”
“Ah masa sih. Engga kok.”
“Beneran, coba ngaca deh, cek di cermin sana.”
Oh iya, saya menyadari bahwa leher saya terlihat agak besar. Tapi saya pikir mungkin ini efek dari berat badan saya yang tak kunjung menurun.
“Mungkin karena istinya gendut aja kali tante, makanya lehernya agak besar.”
Ya, lagi lagi dicuekin.

Januari 2017

Benar saja, berat badan yang tak turun turun itu malah melonjak naik 4 kg. Padahal saya jarang ngemil dan sedikit sekali makannya. Saya memutuskan mengambil kelas olahraga di salah satu pusat kebugaran di dekat rumah. Karena kesal sekali dan terobsesi untuk langsing. Saya menjadi gila olahraga, 2-3 jam setiap hari, 5 kali seminggu. Namun bukannya turun tapi saya malah naik lagi 4 kg.
Memang sejak kecil, badan saya memang bongsor. Pasti selalu lebih besar dari orang-orang seumuran. Tapi kalo terus menerus naik seperti ini sepertinya bikin kesal juga. Dulu waktu SMA saya juga pernah mencoba berbagai pil pelangsing, jarang makan dan banyak olahraga. Tapi bukan badan langsing yang didapat, saya malah sering banget kena maag.
Dampak buruk dari gila olahraga ini, badan saya drop sampai tidak bisa bangun dan sulit beraktifitas. semua gejala pun memarak. rambut saya menjadi sangat rontok, bayangkan sekali menggunakan sisir sisa rambut yang menempel disisir bisa sampai satu genggam? meskipun sejak dulu rambut saya memang rontok karena saya menggunakan hijab, tapi kalau rontoknya lebih banyak dari biasanya apa ga menghawatirkan juga ya?

Februari 2017

Saya lagi bercatut di depan cermin saat itu, sampai saya sadari ternyata benar apa yang dikatakan tante kalau leher saya bengkak. Akhirnya saya bilang mengenai hal ini pada Papa.
“Pa, kok leher isti kaya ada jakunnya gini yan? Normal ga sih?”
“Ya normal lah, semua orang kan punya jakun. Cuma kalau di perempuan tidak begitu keliatan.”
“Tapi ini aneh deh, Pa. Masa jakun dibawah gini, terus sebesar ini.” Akhirnya si Papa berpaling dari layar hp nya untuk lihat leherku.
“Kayanya ini kelenjar tiroid deh. Coba besok ke dokter ya, kan bpjs udah diurus. Sendiri aja dulu, nanti kalau sudah jelas akan di operasi baru Papa antar.”
Haaa? Operasi? Kenapa harus di operasi? Kelenjar tiroid itu apa? Wajar ga sih saya jadi panikan, kalau saya dari agak tertekan dengan keadaan ini. Belum apa apa sudah disuruh operasi.
Akhirnya saya mengikuti lah alur BPJS yang bagi saya agak kurang nyaman yah. Puskesmas – Spesialis Bedah – Spesialis THT – Spesialis Penyakit Dalam. Kenapa sih harus muter muter gitu? Kenapa ga langsung ke Spesialis Penyakit Dalam aja langsung? Gatau deh kenapa si dokter-dokter disana nyaranin seperti itu. Singkat cerita saya disuruh USG Thyroid, hasilnya seperti ini :
Thyroid dekstra-sinistra :
Bentuk normal. Ukuran membesar. Batas tegas. Kapsul intak. Tepi regular. Parenkrim inhomogen dan tampak hipoekoik. Pada pemeriksaan dengan dopler tampak peningkatan vaskularitas intra thyroid. Ukuran lobus kanan : 3.00 cm , lobus kiri : 2,8 cm.
Kesimpulan : Gambaran hipoekogensitas parenkrim thyroid billateral, kemungkinan adanya suatu thyroiditis belum dapat disingkirkan. Tidak terdapat limfadenopati colli billateral.

Hasil USG thyroid tersebut saya serahkan pada dokter untuk di konsultasikan. Si dokter tetep bilang kudu operasi, tapi kamu harus cek hormon dulu sama fnab karena takutnya ada sel ganas. Duuuuuh, kenapa harus dengar kata operasi lagi sih. Akhirnya saya nurut untuk cek hormon thyroid dan FNAB. Panel pemeriksaan thyroid yang disarankan adalah pemeriksaan T3, T4 dan TSHs.
Hasil cek hormon pertama seperti ini :
Total T3  : <0,40 nmol/l (range 0,92-2,33)
Total T4  : 14,82 nmol/l (range 60-120)
TSHs  : >100 uIU/ml (range 0,27 – 4,7) untuk Euthyroid, yaitu keadaan hormon tiroid normal pada wanita dewasa.


Kesimpulan dari pemeriksaan diatas belum bisa dimengerti karena saya belum bisa membaca hasil lab. Setelah di konsultasikan ke dokter, ternyata hasilnya adalah hipothyroid. Keadaan dimana kelenjar tiroid saya tidak dapat memproduksi hormon tiroid dengan baik.
Hasil FNAB seperti ini :
Mikroskopis :
Sediaan terdiri dari massa koloid, sel-sel limfosit yang tersebar, sel folikel tiroid yang berkelompok, sebagian tersebar. Inti sel dalam batas normal. Tidak ditemukan sel tumor ganas.
Kesimpulan: Adenomatous thyroid billateral disertai dengan thyroiditis kronis aspesifik.

Alhamdulillah tidak ditemukan sel tumor ganas, sehingga kesempatan saya untuk operasi berkurang cukup banyak. Setelah di konsultasikan dengan spesialis penyakit dalam, si dokter minta saya untuk minum Euthyrox 100mcg, 1 kali sehari. Nurut deh apa kata dokter. Selang sebulan, saya kembali lagi untuk kontrol. Ternyata badan saya mulai merasa sangat tidak nyaman sejak saya pulang dari Jogja pada awal maret lalu. Entah apa maksud si dokter, beliau malah meminta saya untuk menghentikan asupan hormon pengganti yang saya konsumsi. Aduh, saya tahu bahwa diagnosis saya ini bukan sekedar batuk pilek yang seminggu atau dua minggu sembuh. Saya tahu bahwa diagnosis saya ini membutuhkan perawatan dalam jangka waktu yang cukup lama, itulah kenapa penyakit saya tergolong penyakit kronis.
Gamau nurut gitu aja akhirnya saya ganti dokter spesialis penyakit dalam, si Papa menyarankan menemui dokter senior kenalannya saat di tempat kerja dulu. Lalu saya di kasih 200mcg Euthyrox. Lagi lagi saya mengeluh. Duuuh, apa ga kebanyakan dok? Saya takut overdosis. Mengingat saya sudah mencari tau segala tektekbengek mengenai hipotiroid. Terima Kasih Om Google. Teman-teman seperjuangan saya tidak ada yg konsumsi sebanyak itu dalam waktu lama. Apalagi si dokter nyuruh saya lanjut minum 200mcg itu selama 3 bulan.
And its okay to fire you doctor, if you dont feel that they will help with your diagnosis. Akhirnya saya berpegang teguh pada pedoman ini, saya akan terus mencari dokter yang menurut saya tepat. Dan benar saja, baru sebulan saya konsumsi euthyrox dengan dosis 200mcg, bukannya semua gejala dalam tubuh saya mulai perlahan menghilang. Malah saya merasakan gejala-gejala tambahan lainnya. Tremor, suhu tubuh panas terus, jantung berdebar dan tidak berirama, dan anxiety attack. Cuma ngobrol dengan seseorang di telepon saja sudah membuat saya bergetar hebat. Menerima chatting dari teman yang menanyakan kabar karena saya sudah lama tidak muncul di kampus, rasanya seperti dikejar singa. Takut sekali.
Akhirnya tiba pada jadwal cek darah berikutnya dengan dokter endokrin yang baru, YAY! Akhirnya bertemu dengan seseorang yang mungkin mengerti tentang tiroid dokter endokrin wanita di rumah sakit swasta di jalan peta. Sebelumnya saya sudah ‘inisiatif’ untuk melakulan tes antibody untuk mengetahui bahwa hipotiroid ini disebabkan oleh penyakit autoimun. Namanya Anti TPO (Antibody Thyroid Peroxidase), merupakan suatu antibody yang dihasilkan tubuh dan merusak kelenjar tiroid. Anti TPO adalah yang paling umum dijumpai pada pasien autoimun hashimoto . Karena kasus saya adalah thyroiditis, yang artinya peradangan. Dan saya sudah berkali kali googling mengenai thyroidits dan semua gejala dan hasil pemeriksaan sebelumnya mengarah pada reaksi autoimun. Ditambah hasil TSHs yang begitu tinggi. Ditambah lagi FAKTA bahwa 90% penyebab hipotiroid diseluruh dunia disebabkan oleh Autoimun Hashimoto. Dan hasilnya :
Anti TPO  : 2169,91 (Positive)
Dengan nilai rujukan negatif < 5,61 IU/ml , Positif >= 5,61 IU/ml

AND FINALLY WE FIND THE ANSWER!!!
Sebenernya sih ya, tanpa tes ini pun saya sudah sangat yakin bahwa saya penyandang autoimun hashimoto. Nekat ambil tes ini walaupun mahalnya bikin cekot cekot supaya bisa nunjukin pada semua orang khususnya keluarga saya bahwa SAYA SAKIT. Saat itu mereka masih memandang sebelah mata oada kondisi saya.malah dianggap malas karena tidur tiduran terus, jarang kuliah, emosinya ga stabil, ga sabaran, labil, stress, dan mereka selalu menganggap bahwa semua yang saya rasakan hanya karena sugesti.
Jujur saja, kalau memang sugesti. Sudah dari dahulu saya terapkan pada pemikiran saya bahwa saya bukan anak lemah yang gampang sakit. Terbukti dari saya tidak terjangkit dengan DB dan thypus padahal beberapa kali keluarga saya harus dirawat karenanya.
Semoga kelak lebih banyak lagi orang-orang sekitar saya yang dapat mengerti kondisi si penyandang autoimun ini. Terutama keluarga dan teman-teman. Karena sesungguhnya caregiver terbaik adalah mereka.
Sekian

Tidak ada komentar:

Posting Komentar