Awal diagnosis
Hallo. Saya Annisa, mahasiswa 21
tahun. Dengan Autoimun Hashimoto Disease. Dulu, saya senang sekali menulis. Entah
apa alasanya saya berhenti 7 tahun lalu. Kali ini saya akan mencoba menulis
kembali. Mungkin tulisan ini lebih banyak diselingi dengan curhatan pribadi saya. Kalau ada yang merasakan hal yang sama, saya sangat terbuka untuk berbagi. Semoga ini bisa menjadi bagian dari terapi ya. Saya harus remisi!
Agustus 2014
Sebagai mahasiswa tingkat 2 sudah
pasti akan dipadati dengan berbagai kesibukan perkuliahan. Saya mulai merasakan
lelah sekali setiap hari. Ya, saya pikir itu semua karena padatnya aktifitas
saya. Pagi kuliah, siang rapat atau kegiatan himpunan, sore sampai malam kerja
part-time. Ga part time juga sih karena kerjanya bisa full 8 jam atau malah
lebih kaya karyawan resmi lainnya.
Entah mungkin karena kelelahan,
ditambah setiap hari pulang pergi dengan jarak yang cukup jauh.
Kopo-Setiabudi-Gatot Subroto. Masing-masing memerlukan waktu sekitar 1 jam
untuk ditempuh. Tamu bulanan mulai datang terlambat. Akhirnya saya pikir
mungkin karena kecapekan kali ya. Karena biasanya lancar terus sejak pertama
kali saya dapat menstruasi. Setidaknya kalau terlambat hanya satu atau dua hari
tapi kali ini saya terlambat bisa selama dua minggu atau bahkan sebulan. Dan hal
ini berlangsung sampai saat ini.
Sebagai remaja akhir usia 19
tahun agak heran dong ya karena siklus menstruasi menjadi acak acakan. Tapi karena
saya memang cuek sih jadi saya pikir ‘oh mungkin ini karena kecapekan’
Apalagi karena pekerjaan saya
juga cukup menguras tenaga sih. Menjadi asisten koki (cook helper) di dapur
profesional di salah satu hotel bintang 6 ternama di Bandung. Saya harus
berdiri terus selama bekerja, menyiapkan ratusan bahkan ribuan porsi makanan,
memotong-motong puluhan kilogram bahan makanan, angkat angkat panci berat,
dorong hot box dari dapur sampai tempat makanan disajikan di ballroom. Begitulah.
April 2015
Kesibukan saya di kampus menjadi
lebih ganas lagi. Tahun ini saya diamatkan untuk menjadi Ketua Pelaksana
kegiatan kaderisasi untuk adik-adik mahasiswa baru. Belum pernah saya menjabat
dalam posisi sebagai ketua dimanapun. Hal ini menjadikan saya harus extra
teliti, extra sigap, dapat mengambil keputusan dan tegas. Saya pun menjadi
lebih sering berbicara di depan umum. Sedari kecil saya memang memiliki
kesulitan dalam public speaking,
namun saat sma akhirnya saya dapat menangani hal tersebut dengan baik. Tapi
kali ini tidak. Saya menjadi mudah sekali panik, indecisive, bahkan saya mulai mejauh dari teman teman dekat saya
tanpa alasan yang jelas. Saya senang sekali bersosialisasi pada masa awal
kuliah, namun kali ini hal tersebut berubah yang saya sendiri tidak tahu
alasanya apa. Berbicara mengenai public
speaking, mendapat posisi menjadi ketua membuat saya menjadi lebih sering
berbicara di depan umum. Hey, simple sekali memang. Orang-orang yang saya
hadapi hanya teman-teman di himpunan dan adik-adik tingkat loh, kebanyakan juga
akhirnya saya hanya bicara di depan kelas saat kegiatan kaderisasi.
Namun rasanya seperti dikejar
singa. Saya mudah sekali gugup, panik, gemetaran saat akan berbicara di depan
orang. Sebagai ketua yang harusnya tegas pun, saya lebih sering mendiskusikan
keputusan yang akan saya ambil dengan teman saya yang lain di himpunan.
Oktober 2015
Tugas di kampus lagi
padat-padatnya. Antara harus menyelesaikan berbagai tugas semester 5,
menyiapkan laporan pertanggung jawaban himpunan, menyiapkan diri untuk praktik
kerja lapangan semester depan. Bahkan saja jadi jarang ambil job kerja di hotel
lagi. Ditengah kesibukan seperti itu, bukannya saya menjadi lebih cekatan tapi
saya malah mudah sekali ketiduran. Beberapa kali kepergok dosen ketiduran di kelas,
beberapa kali nabrak kendaraan lain waktu perjalanan pulang ke rumah karena
ngantuk saat mengendarai motor, dan saya mudah sekali ketiduran dimanapun. Akhirnya
beberapa tugas saya kumpulkan mepet bahkan terlambat pada deadline yang
ditentukan. Syukurlah IP semester ini masih dapat dibanggakan.
Februari 2016
Saya sedang praktik kerja
lapangan di dapur profesional pada sebuah resort bintang 5 di daerah Nongsa
Pulau Batam Kepulauan Riau. Lebih makan hati sih disini, tapi tak apa. Kata
orang merantau itu perlu untuk membentuk kemandirian. Ya, saya memang sendirian
disini. Tidak ada keluarga, tidak ada teman. Akhirnya saya membentuk pertemanan
baru. Ya sangat menyenangkan terasa bebas dari rutinitas yang biasanya saya
jalani di Bandung, dan memulai rutinitas baru yang berbeda sekali dibandingkan
saat di Bandung.
Dulu, saya selalu menjadi
kebanggaan senior di tempat kerja. Ya, saya sudah memulai bekerja di dapur
profesional sejak tahun 2011. Sejak saya masih di bangku kelas 2 SMA. Saya bisa
cepat, sigap dan cekatan dalam bekerja. Walau
melelahkan sekali tapi saya menyukai pekerjaan ini. Bertemu banyak orang, mencicipi
rasa makanan-makanan enak dan mahal yang tidak akan mampu saya beli sendiri,
mengetahui bagaimana rasanya makanan terkenal dari berbagai negara tanpa harus
membayar. Tapi kali ini, saya menjadi lebih sering dimarahi oleh senior karena
saya sering lupa, lambat dan tidak fokus saat bekerja.
Lupa pekerjaan yang harusnya saya
kerjakan selanjutnya, lupa saya simpan benda itu dimana, lupa nama alat yang
biasa saya gunakan, beberapa kali kue-kue itu gosong karena tidak fokus dan
meninggalkannya untuk menyelesaikan pekerjaan lain, salah masukin bahan-bahan,
tidak fokus jadi saya tidak mendengar pesanan yang diminta waiter untuk segera disajikan, lambat sekali menyiapkan berbagai
makanan yang setiap hari dikerjakan dan akhirnya saya jadi selalu pulang larut.
Karena sering
dimarahi ini, saya juga jadi lebih sensitif sih. Apalagi logat dan cara bicara
mereka berbeda dengan di Bandung tempat biasa saya kerja. Cara bicara mereka
lebih keras, dan kadang kata-kata yang terucap agak menyakitkan. Beberapa kali
saya akhirnya menangis di chiller (ruangan
pendingin berukuran besar), supaya orang
lain tidak tahu bahwa saya sedang menangis.
Oktober 2016
Tingkat frekuensi
ketiduran dimanapun menjadi lebih sering, bahkan nilai semester ini agak anjlok
karena saya sulit sekali fokus saat perkuliahan dan mudah lupa. Tertolong lah sedikit
dari teman teman yang memberi contekan, terima kasih ya (maaf, jangan ditiru).
Waktu itu saya
lagi main ke rumah tante, adiknya mama. Saya seringkali curhat dengan beliau
daripada dengan mama. Mungkin karena beliau juga sama sama anak bungsu di
keluarga kali ya, beliau dapat mengerti cerita saya. Cerita bahwa akhirnya saya
sedih karena satu persatu kakak kakak saya pergi untuk membangun rumah
tangganya sendiri. Hehe. Biasanya kemana-mana selalu diajak, berantem, bercanda
setiap hari dari hal-hal kecil. Singkat cerita, si tante menyadari bahwa ada
sesuatu yang aneh dengan leher saya. Terlihat seperti bengkak.
“Ti, leher kamu
kenapa? Kok bengkak?”
“Ah masa sih.
Engga kok.”
“Beneran, coba ngaca
deh, cek di cermin sana.”
Oh iya, saya
menyadari bahwa leher saya terlihat agak besar. Tapi saya pikir mungkin ini
efek dari berat badan saya yang tak kunjung menurun.
“Mungkin karena
istinya gendut aja kali tante, makanya lehernya agak besar.”
Ya, lagi lagi
dicuekin.
Januari 2017
Benar saja,
berat badan yang tak turun turun itu malah melonjak naik 4 kg. Padahal saya
jarang ngemil dan sedikit sekali makannya. Saya memutuskan mengambil kelas
olahraga di salah satu pusat kebugaran di dekat rumah. Karena kesal sekali dan
terobsesi untuk langsing. Saya menjadi gila olahraga, 2-3 jam setiap hari, 5
kali seminggu. Namun bukannya turun tapi saya malah naik lagi 4 kg.
Memang sejak
kecil, badan saya memang bongsor. Pasti selalu lebih besar dari orang-orang
seumuran. Tapi kalo terus menerus naik seperti ini sepertinya bikin kesal juga.
Dulu waktu SMA saya juga pernah mencoba berbagai pil pelangsing, jarang makan
dan banyak olahraga. Tapi bukan badan langsing yang didapat, saya malah sering
banget kena maag.
Dampak buruk dari gila olahraga ini, badan saya drop sampai tidak bisa bangun dan sulit beraktifitas. semua gejala pun memarak. rambut saya menjadi sangat rontok, bayangkan sekali menggunakan sisir sisa rambut yang menempel disisir bisa sampai satu genggam? meskipun sejak dulu rambut saya memang rontok karena saya menggunakan hijab, tapi kalau rontoknya lebih banyak dari biasanya apa ga menghawatirkan juga ya?
Februari 2017
Saya lagi
bercatut di depan cermin saat itu, sampai saya sadari ternyata benar apa yang
dikatakan tante kalau leher saya bengkak. Akhirnya saya bilang mengenai hal ini
pada Papa.
“Pa, kok leher
isti kaya ada jakunnya gini yan? Normal ga sih?”
“Ya normal lah,
semua orang kan punya jakun. Cuma kalau di perempuan tidak begitu keliatan.”
“Tapi ini aneh
deh, Pa. Masa jakun dibawah gini, terus sebesar ini.” Akhirnya si Papa
berpaling dari layar hp nya untuk lihat leherku.
“Kayanya ini
kelenjar tiroid deh. Coba besok ke dokter ya, kan bpjs udah diurus. Sendiri aja
dulu, nanti kalau sudah jelas akan di operasi baru Papa antar.”
Haaa? Operasi? Kenapa
harus di operasi? Kelenjar tiroid itu apa? Wajar ga sih saya jadi panikan,
kalau saya dari agak tertekan dengan keadaan ini. Belum apa apa sudah disuruh
operasi.
Akhirnya saya
mengikuti lah alur BPJS yang bagi saya agak kurang nyaman yah. Puskesmas –
Spesialis Bedah – Spesialis THT – Spesialis Penyakit Dalam. Kenapa sih harus
muter muter gitu? Kenapa ga langsung ke Spesialis Penyakit Dalam aja langsung? Gatau
deh kenapa si dokter-dokter disana nyaranin seperti itu. Singkat cerita saya
disuruh USG Thyroid, hasilnya seperti ini :
Thyroid
dekstra-sinistra :
Bentuk
normal. Ukuran membesar. Batas tegas. Kapsul intak. Tepi regular. Parenkrim inhomogen
dan tampak hipoekoik. Pada pemeriksaan dengan dopler tampak peningkatan
vaskularitas intra thyroid. Ukuran lobus kanan : 3.00 cm , lobus kiri : 2,8 cm.
Kesimpulan
: Gambaran hipoekogensitas parenkrim thyroid billateral, kemungkinan adanya
suatu thyroiditis belum dapat disingkirkan. Tidak terdapat limfadenopati colli
billateral.
Hasil USG
thyroid tersebut saya serahkan pada dokter untuk di konsultasikan. Si dokter
tetep bilang kudu operasi, tapi kamu harus cek hormon dulu sama fnab karena
takutnya ada sel ganas. Duuuuuh, kenapa harus dengar kata operasi lagi sih. Akhirnya
saya nurut untuk cek hormon thyroid dan FNAB. Panel pemeriksaan thyroid yang
disarankan adalah pemeriksaan T3, T4 dan TSHs.
Hasil cek
hormon pertama seperti ini :
Total
T3 : <0,40 nmol/l (range 0,92-2,33)
Total
T4 : 14,82 nmol/l (range 60-120)
TSHs : >100 uIU/ml (range 0,27 – 4,7) untuk
Euthyroid, yaitu keadaan hormon tiroid normal pada wanita dewasa.
Kesimpulan dari
pemeriksaan diatas belum bisa dimengerti karena saya belum bisa membaca hasil
lab. Setelah di konsultasikan ke dokter, ternyata hasilnya adalah hipothyroid. Keadaan dimana kelenjar
tiroid saya tidak dapat memproduksi hormon tiroid dengan baik.
Hasil FNAB
seperti ini :
Mikroskopis
:
Sediaan
terdiri dari massa koloid, sel-sel limfosit yang tersebar, sel folikel tiroid
yang berkelompok, sebagian tersebar. Inti sel dalam batas normal. Tidak ditemukan
sel tumor ganas.
Alhamdulillah tidak
ditemukan sel tumor ganas, sehingga kesempatan saya untuk operasi berkurang
cukup banyak. Setelah di konsultasikan dengan spesialis penyakit dalam, si
dokter minta saya untuk minum Euthyrox 100mcg, 1 kali sehari. Nurut deh apa
kata dokter. Selang sebulan, saya kembali lagi untuk kontrol. Ternyata badan
saya mulai merasa sangat tidak nyaman sejak saya pulang dari Jogja pada awal maret
lalu. Entah apa maksud si dokter, beliau malah meminta saya untuk menghentikan
asupan hormon pengganti yang saya konsumsi. Aduh, saya tahu bahwa diagnosis
saya ini bukan sekedar batuk pilek yang seminggu atau dua minggu sembuh. Saya tahu
bahwa diagnosis saya ini membutuhkan perawatan dalam jangka waktu yang cukup
lama, itulah kenapa penyakit saya tergolong penyakit kronis.
Gamau nurut
gitu aja akhirnya saya ganti dokter spesialis penyakit dalam, si Papa
menyarankan menemui dokter senior kenalannya saat di tempat kerja dulu. Lalu saya
di kasih 200mcg Euthyrox. Lagi lagi saya mengeluh. Duuuh, apa ga kebanyakan
dok? Saya takut overdosis. Mengingat saya sudah mencari tau segala tektekbengek
mengenai hipotiroid. Terima Kasih Om Google. Teman-teman seperjuangan saya
tidak ada yg konsumsi sebanyak itu dalam waktu lama. Apalagi si dokter nyuruh
saya lanjut minum 200mcg itu selama 3 bulan.
And its okay to fire you doctor, if you dont
feel that they will help with your diagnosis. Akhirnya saya berpegang teguh
pada pedoman ini, saya akan terus mencari dokter yang menurut saya tepat. Dan benar
saja, baru sebulan saya konsumsi euthyrox dengan dosis 200mcg, bukannya semua
gejala dalam tubuh saya mulai perlahan menghilang. Malah saya merasakan
gejala-gejala tambahan lainnya. Tremor, suhu tubuh panas terus, jantung
berdebar dan tidak berirama, dan anxiety
attack. Cuma ngobrol dengan seseorang di telepon saja sudah membuat saya
bergetar hebat. Menerima chatting
dari teman yang menanyakan kabar karena saya sudah lama tidak muncul di kampus,
rasanya seperti dikejar singa. Takut sekali.
Akhirnya tiba
pada jadwal cek darah berikutnya dengan dokter endokrin yang baru, YAY! Akhirnya
bertemu dengan seseorang yang mungkin mengerti tentang tiroid dokter endokrin
wanita di rumah sakit swasta di jalan peta. Sebelumnya saya sudah ‘inisiatif’
untuk melakulan tes antibody untuk mengetahui bahwa hipotiroid ini disebabkan
oleh penyakit autoimun. Namanya Anti TPO (Antibody Thyroid Peroxidase),
merupakan suatu antibody yang dihasilkan tubuh dan merusak kelenjar tiroid. Anti
TPO adalah yang paling umum dijumpai pada pasien autoimun hashimoto . Karena kasus saya adalah thyroiditis, yang artinya
peradangan. Dan saya sudah berkali kali googling mengenai thyroidits dan semua
gejala dan hasil pemeriksaan sebelumnya mengarah pada reaksi autoimun. Ditambah
hasil TSHs yang begitu tinggi. Ditambah lagi FAKTA bahwa 90% penyebab
hipotiroid diseluruh dunia disebabkan oleh Autoimun
Hashimoto. Dan hasilnya :
Anti
TPO : 2169,91 (Positive)
AND FINALLY WE
FIND THE ANSWER!!!
Sebenernya sih
ya, tanpa tes ini pun saya sudah sangat yakin bahwa saya penyandang autoimun
hashimoto. Nekat ambil tes ini walaupun mahalnya bikin cekot cekot supaya bisa
nunjukin pada semua orang khususnya keluarga saya bahwa SAYA SAKIT. Saat itu mereka masih memandang sebelah mata oada kondisi
saya.malah dianggap malas karena tidur tiduran terus, jarang kuliah, emosinya
ga stabil, ga sabaran, labil, stress, dan mereka selalu menganggap bahwa semua
yang saya rasakan hanya karena sugesti.
Jujur saja,
kalau memang sugesti. Sudah dari dahulu saya terapkan pada pemikiran saya bahwa
saya bukan anak lemah yang gampang sakit. Terbukti dari saya tidak terjangkit
dengan DB dan thypus padahal beberapa kali keluarga saya harus dirawat
karenanya.
Semoga kelak
lebih banyak lagi orang-orang sekitar saya yang dapat mengerti kondisi si
penyandang autoimun ini. Terutama keluarga dan teman-teman. Karena sesungguhnya
caregiver terbaik adalah mereka.
Sekian
Tidak ada komentar:
Posting Komentar